YES RADIO, Cilacap : Di sela-sela kesibukan kegiatan pesantren, dua santri terlihat sibuk memilih dan memilah tumpukan sampah di salah satu sudut Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin, Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap.
Itu mereka lakukan pada sebuah ruangan berukuran 7 m x 5 m yang disebut sebagai ‘Bank Sampah Nusantara’.
Berbagai jenis sampah tertata rapi sesuai jenis, seperti gelas dan botol plastik kemasan minuman, kertas, kardus, kantong kresek, dan lain-lain.
Di antara tumpukan sampah itu sebuah mesin pencacah diletakkan di bagian depan bank sampah.
Dedi Alpian yang dipercaya sebagai tenaga operasional Bank Sampah Nusantara kemudian memasukkan sampah kemasan gelas bekas air mineral ke dalam mesin pencacah bantuan dari Bank Indonesia (BI) Purwokerto tersebut.
“(Sampah) plastiknya dibersihkan sebelum dimasukkan dalam mesin pencacah. Lalu dicuci, dijemur, dikemas dan dijual. Bentuk cacah ini membuat kemasan lebih ringkas dan harga jual ke pengepul juga lebih mahal”ujar santri asal Provinsi Lampung ini.
Kata dia, harga jual sampah plastik yang sudah dicacah bisa mencapai Rp 12 ribu/kg.
“Kalau yang sudah dicacah bisa mencapai 12 ribu rupiah per kilogram. Sedangkan yang belum dicacah hanya 6 ribu rupiah per kilogram. Namun untuk pengiriman ke pengepul harus ukuran satu truk penuh. Kami menjualnya ke pengepul di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas” ungkapnya.
Sejak menerima mesin pencacah dari BI Purwokerto pada 2019 ini dalam satu bulan baru menghasilkan 200 kg sampah cacah.
“Operasional mesin pencacah belum bisa setiap hari dilakukan. Ini mengingat biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk satu kali operasional. Selain itu posisi mesin yang dekat dengan area pondok menimbulkan suara bising, maka kami merencanakan untuk memindahkan ke tempat lebih nyaman” terang Dedi.
Direktur Bank Sampah Nusantara periode 2018 – 2019, Rima Nela Safita menerangkan kehadiran bank sampah sejak 2012 lalu merupakan inisiasi dari pendiri Ponpes Al Ihya Ulumaddin KH Chasbullah Badawi untuk mewujudkan pesantren berwawasan lingkungan.
“Sejak 2012 pihak ponpes mengajukan proposal kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap dan turunlah bantuan pembangunan bank sampah ini dan mesin pencacah organik” ucap Rima.
Hal ini karena jumlah santri mencapai lebih dari 1.000 santri maka berdampak pula pada tumpukan sampah.
“Dari jumlah 1.000 sampai 1.300 santri di pondok ini, pengurus pesantren harus mengeluarkan biaya besar untuk mengelola sampah. Untuk pengangkutan sampah dengan truk DLH mengeluarkan biaya 150 ribu per bulan untuk satu kali angkut. Di luar itu memang ada yang reguler, tapi truk datang ke ponpes sudah dalam kondisi terisi, sehingga tidak semua sampah terangkut” tandasnya.
Lebih lanjut pada 2013 sampai 2014 itu ponpes memulai pembiasaan memilah sampah.
“Tadinya semua jenis sampah dibuang jadi satu, sejak itu harus dipilah sesuai jenisnya” katanya.
Pada 2018, Bank Sampah Nusantara Ponpes Al Ihya Ulumaddin Kesugihan diajak BI Purwokerto untuk mengikuti promosi di alun-alun Purwokerto.
“Kebetulan karena di ponpes sudah ada unit pengelolaan sampah kami diajak promosi oleh BI Purwokerto. Waktu itu kami pamerkan kerajinan vas bunga dari kain handuk bekas dan cukup menarik perhatian” ucapnya.
Dijelaskan sebagaimana sistem bank, Bank Sampah Nusantara juga menerapkan penyimpanan uang tabungan para nasabah yang menabung sampah.
“Nasabah dari tiap komplek (jenjang kelas di ponpes -red) menabung sampah sesuai jenisnya. Ada yang sampahnya dihargai hanya 1.000 rupiah, makanya ditabung. Tidak boleh langsung diuangkan. Lalu di akhir tahun hasil tabungan itu bisa diambil untuk memenuhi kebutuhan masing-masing komplek” ujarnya.
Teknis pengumpulan sampah dari setiap komplek saat ini semakin rapi dan tertata.
“BI juga memberikan bantuan tong sampah plastik yang digunakan untuk memasukkan sampah plastik”
Tabungan sampah dari para nasabah itu kemudian dijual lagi ke pengepul sampah yang lebih besar.
Ia merinci, dengan jumlah 1.000 – 1.300 santri di ponpes ini aset Bank Sampah Nusantara saat ini sudah mencapai 6 – 7 digit.
“Pendaatan dari pengelolaan sampah, setelah bisa kelola sampah sendiri. Ada 1.00 – 1.300 nasabah yng menabung, termasuk ndalem (pihak pengasuh ponpes) juga ikut menabung , alhamdulillah omset sudah di kisaran 6 sampai 7 digit (jutaan rupiah –red)” paparnya.
Sri Kusmiatun, salah seorang santri mengaku kehadian bank sampah memberikan manfaat besar bagi pondok.
“Sejak ada bank sampah, saat ini ada kegiatan pemilahan sampah dan sampah semakin berkurang. Lingkungan ponpes jadi lebih bersih sekaligus melatih santri untuk rajin memilah sampah” jelasnya.
Dari satu komplek,tabungan sampah mencapai rata-rata Rp 50 ribu/bulan.
“Pencairan dilakukan setiap akhir tahun dan dimanfaatkan biasanya untuk menambah keindahan dan kerapihan komplek seperti membeli tanaman dan lainnya”tegasnya.
Pembina Bank Sampah Nusantara Soiman Nawawi menyebutkan, keberadaan bank sampah menjadi salah satu program social BI yang dinilai sangat positif untuk pesantren.
“Ada dua program dari BI untuk Ponpes Alihya Ulumadin yakni pertanian organik di Gunung Kemit Dondong Kesugihan dan bank sampah ini. Khusus terkait bank sampah, sangat memacu kami untuk lebih mandiri dalam pengelolaan pesanten” ungkapnya.
Lebih jauh menurutnya, kehadiran bank sampah ini memberikan dampak positif, salah satunya santri semakin memahami kebersihan lingkungan.
“Jika dulu sampah itu hanya dibuang, sekarang orientasinya adalah bahwa sampah merupakan aset. Ini merupakan peningkatan pemahaman, karena berorientasi aset maka ada income (pemasukan –red)” katanya.
Wakil Ketua DPRD Cilacap Syaiful Mustangin mengapresiasi apa yang dilakukan BI terhadap kalangan pondok pesantren.
“Kepedulian BI pada ponpess patut diapresiasi. Hal ini menjadi sangat penting untuk memfasilitasi ponpes terkait denga pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren sekaligus sebagai perwujudan konsep santripreneurship” ungkapnya.
Ke depan lanjut Gus Ipul, panggilan akrabnya hal yang sama bisa dilakukan oleh pemerintah karena anggarannya memang tersedia.
“Ke depan kami berharap pemkab juga bisa melakukan hal itu karena anggaran juga tersedia. Ada alokasi APBD untuk mengembangkan santripreneurship sebagi bukti konkret kepedulian dan komitmen Negara dalam hal ini pemkab terhadap pondok pesantren” tegasnya.
Lebih jauh ia juga berharap para santri semakin memiliki kualifikasi yang lengkap dalam hal pengetahuan agama maupun ketahanan hidup.
“Berharap para santri semakin memiliki kualifikasi pengethauan agama dan kualitfikasi dalam hal ketahaan hidup. Setelah selesai ponpes selain memiliki kemampuan dan kecakapan sebagai penyebar nilai keagamaan secara inklusif, secara ekonomi juga punya kemandirian” tambahnya.
Kepala BI Perwakilan Purwokerto Agus Chusaini menilai pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan di Indonesia memiliki potensi sebagai saluran distribusi dalam memberikan akses keuangan dan ekonomi kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam.
“Visi kami dalam pengembangan pesantren ini di antaranya peningkatan kapasitas ekonomi pesantren dalam mengoptimalkan aset pesantren sehingga memiliki kapasitas untuk melakukan peningkatan kualitas. Selain itu membantu meningkatkan terwujudnya good governance di lingkungan pesantren” jelas Agus.
Visi lainnya melakukan peningkatan kualitas SDM pengelola maupun pengajar di lingkungan pesantren melalui berbagai program peningkatan kapasitas seperti training, seminar, sertifikasi maupun program reverse linkage serta membuat program peningkatan pada materi ajar dan penyampaiannya melalui program transfer pengetahuan.
“Kami berkeyakinan pondok pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, namun juga berpotensi sebagai lembaga penggerak perekonomian bagi masyarakat sekitarnya, khususnya pengembangan ekonomi syariah dalam mewujudkan kemandirian ekonomi” ujarnya.
Lanjut dia dengan jumlah santri sekitar 3,65 juta jiwa (Kementerian Agama RI, 2008/2009), ponpes diharapkan dapat menjadi influencer pada sebagian besar masyarakat di sekitarnya.
“Berdasarkan data Kementerian Agama Republik Indonesia, pada tahun 2015, terdapat 27.290 ponpes tersebar di seluruh Indonesia. Provinsi Jawa Tengah sendiri mencatatkan jumlah ponpes sebanyak 4.336 atau 15,9% dari total ponpes nasional. Tercatat, wilayah Eks Karesidenan Banyumas (Kab.Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara) memiliki 463 ponpes” katanya.
Dijelaskan sejak 2014 BI bekerjasama dengan Kementrian Agama RI telah melakukan program pengembangan ekonomi pondok pesantren.
Di tingkat Nasional pada 2017 telah ada 62 Pesantren yang ikut dalam program pengembangan ekonomi pesantren meliputi 7 sektor usaha, yakni pertanian berkesinambungan 24 pesantren, pengolahan daur ulang sampah 8 pesantren, pengolahan biogas 1 pesantren, pengolahan air minum 4 pesantren, jasa 17 pesantren, peternakan 6 pesantren, dan budidaya jamur 2 pesantren.
Sedangkan untuk wilayah kerja KPw Bank Indonesia sejak tahun 2015 sampai tahun 2019 telah melibatkan 6 Pesantren dengan 6 sektor usaha.
Diantaranya Rubat Mbalong El Firdaus Kedungreja Cilacap berupa pertanian padi, budidaya jamur tiram, kandang sapi dan biogas, sarana pembuatan paving block dan pengembangan mocaf.
“Selanjutnya Miftahul Huda, Rawalo, Banyumas berupa pertanian padi, At-Taujieh Al Islamy Leler, Banyumas juga pertanian padi, Al Ihya Ulumaddin Kesugihan, Cilacap berupa pengolahan bank sampah dan pertanian holtikultura organik, Tarbiyah Islamiyah Patimuan, Cilacap yakni pengembangan makanan kecil berbasis jagung, serta Assa’idyiyah Kedungreja, Cilacap berupa pengembangan makanan kecil berbasis jagung” ungkapnya.
Ditambahkan Agus, untuk target jumlah pesantren sesuai ketentuan internal dalam setiap tahun terdapat penambahan 1 pondok pesantren binaan. (sdy)